wujud asli queen of random kindom

TMI ABOUT ME:
21 tahun lalu, lahir seorang anak.. aduh ini apa sih? haha ;D pokoknya nama asli saya Rizqiani Aulia. Nama panggilan macem-macem, dari yang normal Rizqiani, Rizqi, kiani, kiki, sampe yang nggak tau kenapa gue (pake gue aja yah? lebih enak dan luwes bep >v<) dipanggil apil. ceritanya panjang, nanti aja ceritanya ya..
kalian ma bebas mau manggil apa,

sekarang kuliah, jurusan Jurnalistik (lagi pusing skripsiaan)
anaknya moody, random parah, hobi nulis (lebih tepatnya hobi nyampah di work karna buanyaak banget yang nggak rampung)
suka banget nonton film, sering begadang running drama korea atau west series
kalo udah ketemu buku atau bacan apapun ang seru, bisa abis dalam satu atau dua hari
suka banget sama Dan Brown OMG TT TT... pengen gitu nulis something yang feelnya awsome macam gitu,, hiks.. ini gue ngefans berat bukan karena karyanya doang deh beneran, tapi dedikasinya untuk menghasilkan buku yang super keren dan penuh kontroversi tuh gila tau nggak!! Doi sampe riset bertahun-tahun.. (maaf salfok jadi ngomongin pak Dan, abis gatel ni tangan)

ok, intinta gitu..


ABOUT RANDOM KINGDOM:
seperti judul blognya, disini gue posting berbagai hal random sesuai mood, tapi tetep berkonten kok.
"ini gimana cerianya random tapi berkonten?"

ya pokoknya gitu deh haha;pp

intinya adalah, disini gue hanya berbagi cerita-cerita dan tulisan tulisan yang gue buat, entah itu dalam bentuk fiksi sampe non fiksi. mulai dari novel sampai script,,

sebenernya banyak banget tulisan non fiksi yang udah gue buat kayak berita dan opini gue terhadap kasus tertentu ang lagi booming di sosmed, tapi emang nggak sempet gue upload karena seperti yang udah gue bilang kalo gue up sesuai mood hehe..
tapi kalo mau di up sekarang kan jadinya basi ya nggak sih? jaid yaudalahya,

soon gue up lebih banyak lagi fiksinya karena ketimbang cuman jadi spam di work gue kan..

then, check my Fiction out!!

LAST,, MAAFKAN TYPO TYPO ANG BERTEBARAN GAIS TT TT..

yellow you



13/03/19

CERPEN - Ego


Ego

Seperti biasa, akhir pekan kali ini Iras juga sendirian dirumah. Papanya tak pernah ada dirumah barang sehari sejak beberapa bulan belakangan ini. Tak ada yang namanya akhir pekan bersama keluarga bagi Iras. Dari yang Ia tau, keluarganya memang bukan tipikal keluarga yang berlibur dan makan malam bersama saat akhir pekan. Tapi setidaknya Ia tau bagaimana rasanya menghabisakan waktu dirumah bersama dengan keluarganya walaupun sejak dulu ia sadar jika ia hanya seorang putri asuh. Namun seakan bangun dari mimpi indah, sejak peceraian kedua orang tuanya Iras bahan tak lagi mengenal keluarga.

            Iras tak mengerti dan merasa dirinya tak perlu perduli dengan hak asuh, yang Ia tau sejak keluar dari pengadilan delapan tahun lalu Ia tak pernah bertemu dengan kakak dan mamanya. Hari-hari berikutnya Iras hanya berharap papanya akan menjelaskan kenapa mereka harus bercerai, namun tak sedikitpun papanya membahas dan pada akhirnya Iras hanya merasa itu bukan lagi hal yang penting.

            Sampai suatu hari polisi mengetuk pintu rumahnya dan membawa kabar bahwa mamanya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Saat mendengarnya Iras tak tau harus berbuat apa, bahkan air matanya tak setetespun keluar. Iras tak menangis, hatinya sudah mati delapan tahun lalu saat melihat mama dan kakanya pergi tanpa menoleh padanya. Saat itu yang ada hanya kekosongan, Iras hanya merasa ada sesuatu yang direnggut darinya untuk kedua kalinya.

            Setelah pemakaman semuanya mulai kacau –lebih kacau dari sebelumnya. Kakaknya, Risa depresi berat, dan harus dirawat di rumah sakit. Papanya mulai fokus pada perawatan Risa dan perlahan hubungannya dengan Iras menjauh. Bahkan setelah Risa sembuh, tak ada yang kembali normal. Papanya tetap jauh darinya, Iras pun tak pernah sekalipun bicara dengan Risa karna Risa menolak tinggal dan memilih hidup sendiri.

            Kenangan masa kecil Iras sudah hilang entah kemana. Anehnya memang Iras tak ingat satupun bahkan tanpa perlu repot-repot melupakannya.

            Nafasnya kembali teratur dan kini Iras kembali ke realita. Ia mendapati dirinya tengah memegang handphone nya yang berada di laman pesan.

Papa lembur, pulang lusa. Sarapannya dimakan, uang saku udah papa kirim.

            Pesan singkat seperti biasa yang tak perlu dibalas.

Setelah itu Iras keluar dari kamarnya, dan benar saja, Ia mendapati sepiring nasi goreng di atas meja makan. Saat melihatnya ada bagian dalam dirinya yang menghangat, Ia tak tau kapan terakhir kali papanya membuatkannya makanan. Tapi lagi-lagi Iras menepis perasaan berharga itu, Ia terlalu takut untuk berharap papanya akan kembali seperti dulu. Iras hanya akan memakannya seperti biasa.

Detik berikutnya Ia ingat tentang pemberitahuan aplikasi beasiswanya yang diterima. Untuk sesaat, bagian dari dirnya bergelut. Di satu sisi Ia merasa terdorong untuk menghubungi papanya dan memberitahunya, namun di sisi lain Ia merasa itu tak perlu. Toh nanti akan ada surat pemberitahuan resmi dari sekolah.

Tiba-tiba bel rumahnya berbunyi.

“paket..!”
Seru orang di luar gerbang rumahnya.

Iras bangkit membuka pintu.

“paket buat siapa ya mas?” tanya nya pada pengirim paket sambil menerima kotak yang entah apa isinya itu.

“atas, nama Bapak. Prabudi, silahkan tanda tangan disini”

Iras membubuhi tanda tangan, lalu sekilas membaca alamat pengirim.

-Bella upouque WO. Bintaro Sektor IX no.123-

“makasih mas” ucapnya lalu kembali masuk ke dalam rumah.

Sambil jalan ke dalam Iras mengeryitkan alisnya bingung.

“WO?” gumamnya dalam hati.

Iras meletakkan kotak itu di atas meja, lalu menatapnya. Menimbang apakah akan membuka isinya atau tidak. Tapi itu milik papanya, dan untuk apa papanya memesan barang atau dikirimi barang oleh Weeding Organizer? pikirnya. Akhirnya Ia memutuskan untuk tak peduli, siapa tau itu hanya barang titipan milik tetangganya atau teman papanya atau siapalah itu.


___



Pulang dari sekolah Iras melihat sebuah mobil terparkir di teras rumahnya. Itu jelas bukan milik papanya. Ia masuk ke rumah sambil menerka-nerka, apakah papanya memiliki tamu atau bagaimana.

Namun saat masuk kedalam rumah Iras tak menemukan siapapun.

“Pah??” panggilnya, namun tak ada yang menyahut.

Iras lalu mencari ke halaman samping rumah tempat biasa papanya membaca koran sambil minum kopi, namun tetap nihil. Saat hendak berbalik, Iras menemukan sesuatu yang ganjal. Halaman samping rumahnya terhubung dengan pintu garasi, dan hal yang biasa Ia temukan disana adalah motor besar papanya, namun kali ini benda itu tak ada di tempatnya. Iras masuk ke garasi untuk memastikan, dan benar, itu tak ada. Papanya pergi menggunakan motor? Yang benar saja!

Ini aneh, sejak kemarin Iras merasa ada yang ganjal , papanya yang tiba-tiba membuatkan nasi goreng, paket dari WO, lalu sekarang motor besar papanya tak ada. Ada jejak papanya sempat pulang kerumah siang ini, namun bukan mobil papanya yang terparkir namun mobil entah milik siapa.

Ingin bersikap masa bodoh dan berniat untuk pergi ke kamarnya, lagi-lagi Iras mendapati hal yang tak biasa. Ruang kerja papanya terbuka. Jantungya mulai berdetak kencang. Otaknya mulai berpikir macam-macam dan logika nya menerka, apa ada perampokan di rumahnya?. Sementara itu naluri pertahanan dirinya mulai keluar, matanya mencari sesuatu yang bisa di gunakan untuk senjata. Beruntung Ia menemukan sapu di sudut ruang tamunya.

Buku tangan Iras memutih karena menggenggam erat batang sapu itu sambil berjingkat menuju ruang kerja papanya. Saat masuk, ternyata ruangan itu kosong, dan barang-barangnya masih tertata dengan rapih. Iras yakin betul tak ada yang hilang dari sana. Setelah memeriksa semuanya aman, Iras lega. Ia hendak pergi ke kamarnya namun matanya manangkap sebuah objek yang tak asing tergeletak di bawah meja.

“paket kemaren?” gumamnya lalu memungut kotak yang nampak sudah terbuka itu.

Untuk kesekian kalinya, Iras mengalami Euphoria dalam hidupnya. Melihat benda yang ada dalam kotak itu hatinya hancur. Matanya memanas dan bulir air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya.

“SAMPLE UNDANGAN PERNIKAHAN”

Iras tak kuat membacanya, namun disana jelas tercetak nama papanya dan nama wanita yang tak Ia kenal.

Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah nama pengirimnya merupakan pemilik WO tersebut. Iras jelas tau siapa pemilik nama itu, RISA ANDEMIA, orang yang pernah Ia panggil kakak.

Iras membawa beberapa sample undangan itu ke ruang tamu. Lalu Ia duduk menunggu siapapun datang, entah itu papanya, atau secara ajaib kakanya, dan meminta penjelasan akan hal konyol tersebut.

Tak lama gerbang rumahnya terbuka, menandakan ada seseorang yang datang. Iras sengaja tak menoleh dan diam ditempatnya. Saat pintu rumahnya terbuka, sebuah suara memanggilnya.

“Iras?”

Tanpa menoleh Iras tau betul pemilik suara baiton itu terkejut dengan kehadirannya.

“Papa kira Iras ngga pulang? papa pikir Iras kerjanya cuman bikin masalah dan kelayaban sampe malem?” tanyanya sarkastik menatap sosok paruh baya di depannya yang tengah kebingungan meihat benda yang ada diats meja.

Baru ingin menyahut lagi, Iras mendengar langkah kaki berjalan masuk. Sepatu hak tinggi? Jika Ia tak salah dengar. Karena penasaran dengan siapa sosok itu, Iras kali ini menoleh. Dan betapa terkejutnya Ia melihat siapa yang datang. 

Hah, ternyata keajaiban itu ada ya?

“hai ka Risa Andemia? Long time no see?” sapa Iras dengan senyum yang terlalu kentara di buat-buat. “masih kenal aku kan? Irasti Saniam, ade kaka!” lanjutnya dengan nada dibuat seriang mungkin.

Papanya masih bungkam, lalu saat Iras menoleh meminta jawaban, papanya memaligkan wajahnya.

“Pah?”

Prabudi mendudukkan dirinya di sofa berusaha untuk menghadapi putri bungsunya.

“Iras, Risa coba duduk kita bicara bareng-bareng”

“good, Iras emang nunggu apa ngomong sejak delapan tahun lalu!” jawabnya dengan penuh penekanan di akhir kalimat ke arah papanya.

“Iras! Watch your mouth![1]” hardik Risa merespon ucapan Iras.

Sedangkan Iras tak menanggapi lagi dan hanya mendelik ke ara Risa.

“papa minta maaf Ras..!”

“buat?” tanya Iras lebih menuntut.

“semua nya Ras.. semua..” ujar Prabudi langsung menatap manik mata putrinya.

Ini kelamahan Iras. Air matanya mulai terbendung, tapi egonya melarangnya untuk menangis.

“Iras ngga penah minta papa buat bilang maaf, Iras cuman butuh papa jelasin semuanya pa!” Iras mulai emosional. “alesan kalian cerai? alesan papa ngijinin ka Risa tinggal diluar rumah setelah keluar dari ruma sakit? Alesan papa mulai sibuk, jarang pulang. Yang papa pikirin cuman yang penting uang rekenenig di transfer iya kan?? papa ngga pernah peduli Iras, perasaan Iras? Pendapat Iras?” tangis nya pecah, Iras meledak.

Tapi itu tak cukup membuat papanya buka suara.

Iras merasa semua teka-teki ini punya titik terang. Yang Ia tau, Ia memang bukan anak mereka. Namun kemiripan Iras dan papanya tak bisa ditutupi semakin Iras tumbuh. Lalu pertanyaan-pertanyaan itu mendadak muncul bagai puzzle yang tak pernah terpecahkan. Dan hari ini Iras tak bisa diam saja.

“satu aja pah. Jawab yang ini” pinta Iras memohon, Ia menjeda kalimatnya sejenak. “Iras anak papa atau bukan?” air matanya mengalir deras. “pah, Iras anak papa atau bukan??!!??”

“kamu anak papa Iras!! Kamu anak Papa demi tuhan!!” hanya sumpah itu yang bisa dijawab pria paruh baya itu pada putrinya. 

Mata keduanya masih saling beradu pandang. Iras bisa membaca dari maink coklat papanya bahwa masih ada yang belum disampaikan. 

Detik berikutnya Ia menyadari sesuatu. Dia memang putri Prabudi, namun jelas sekali Ia bukan berasal dari rahim wanita yang selama ini Ia panggil mama. 

Kenapa Ia sangat takut untuk berprasangka pada papanya? Kenapa ia sangat takut berdosa sementara hidupnya hanya dibalut dengan teka-teki? Kenapa Ia sangat egois, ingin menemukan kebahagiaan sementara dirinya bukan sumber kebahagiaan untuk orang lain?

Nama yang tercetak di undangan itu, beruntung Iras tak mengingatnya.

Ia melirik sekilas Risa yang kini juga banjir air mata.
“maaf.. maaf kaa” Iras merangkai kata itu tanpa suara.

Matanya beralih pada papanya yang kini menatapnya sendu sebelum beranjak pergi menuju kamarnya.

“makasih pa..penjelasannya..” ucapnya lirih lalu pergi, menghilang di balik pintu kamarnya.

Iras kini tau, sisa hidupnya hanya akan dihabiskan untuk meminta ampun pada mendiang mamanya dan kakaknya Risa.

-the end-





[1] Jaga mulut kamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar