Ego
Seperti
biasa, akhir pekan kali ini Iras juga sendirian dirumah. Papanya tak pernah ada
dirumah barang sehari sejak beberapa bulan belakangan ini. Tak ada yang namanya
akhir pekan bersama keluarga bagi Iras. Dari yang Ia tau, keluarganya memang
bukan tipikal keluarga yang berlibur dan makan malam bersama saat akhir pekan.
Tapi setidaknya Ia tau bagaimana rasanya menghabisakan waktu dirumah bersama
dengan keluarganya walaupun sejak dulu ia sadar jika ia hanya seorang putri asuh. Namun seakan bangun dari mimpi indah, sejak peceraian kedua
orang tuanya Iras bahan tak lagi mengenal keluarga.
Iras tak mengerti dan merasa dirinya
tak perlu perduli dengan hak asuh, yang Ia tau sejak keluar dari pengadilan
delapan tahun lalu Ia tak pernah bertemu dengan kakak dan mamanya. Hari-hari
berikutnya Iras hanya berharap papanya akan menjelaskan kenapa mereka harus
bercerai, namun tak sedikitpun papanya membahas dan pada akhirnya Iras hanya
merasa itu bukan lagi hal yang penting.
Sampai suatu hari polisi mengetuk
pintu rumahnya dan membawa kabar bahwa mamanya meninggal dalam kecelakaan
pesawat. Saat mendengarnya Iras tak tau harus berbuat apa, bahkan air matanya
tak setetespun keluar. Iras tak menangis, hatinya sudah mati delapan tahun lalu
saat melihat mama dan kakanya pergi tanpa menoleh padanya. Saat itu yang ada
hanya kekosongan, Iras hanya merasa ada sesuatu yang direnggut darinya untuk
kedua kalinya.
Setelah pemakaman semuanya mulai
kacau –lebih kacau dari sebelumnya. Kakaknya, Risa depresi berat, dan harus
dirawat di rumah sakit. Papanya mulai fokus pada perawatan Risa dan perlahan
hubungannya dengan Iras menjauh. Bahkan setelah Risa sembuh, tak ada yang
kembali normal. Papanya tetap jauh darinya, Iras pun tak pernah sekalipun
bicara dengan Risa karna Risa menolak tinggal dan memilih hidup sendiri.
Kenangan masa kecil Iras sudah
hilang entah kemana. Anehnya memang Iras tak ingat satupun bahkan tanpa perlu
repot-repot melupakannya.
Nafasnya kembali teratur dan kini
Iras kembali ke realita. Ia mendapati dirinya tengah memegang handphone nya
yang berada di laman pesan.
Papa lembur, pulang
lusa. Sarapannya dimakan, uang saku udah papa kirim.
|
Pesan singkat seperti biasa yang tak
perlu dibalas.
Setelah
itu Iras keluar dari kamarnya, dan benar saja, Ia mendapati sepiring nasi
goreng di atas meja makan. Saat melihatnya ada bagian dalam dirinya yang
menghangat, Ia tak tau kapan terakhir kali papanya membuatkannya makanan. Tapi
lagi-lagi Iras menepis perasaan berharga itu, Ia terlalu takut untuk berharap
papanya akan kembali seperti dulu. Iras hanya akan memakannya seperti biasa.
Detik
berikutnya Ia ingat tentang pemberitahuan aplikasi beasiswanya yang diterima.
Untuk sesaat, bagian dari dirnya bergelut. Di satu sisi Ia merasa terdorong
untuk menghubungi papanya dan memberitahunya, namun di sisi lain Ia merasa itu
tak perlu. Toh nanti akan ada surat pemberitahuan resmi dari sekolah.
Tiba-tiba
bel rumahnya berbunyi.
“paket..!”
Seru
orang di luar gerbang rumahnya.
Iras
bangkit membuka pintu.
“paket
buat siapa ya mas?” tanya nya pada pengirim paket sambil menerima kotak yang
entah apa isinya itu.
“atas,
nama Bapak. Prabudi, silahkan tanda tangan disini”
Iras
membubuhi tanda tangan, lalu sekilas membaca alamat pengirim.
-Bella upouque WO. Bintaro Sektor IX
no.123-
“makasih
mas” ucapnya lalu kembali masuk ke dalam rumah.
Sambil
jalan ke dalam Iras mengeryitkan alisnya bingung.
“WO?”
gumamnya dalam hati.
Iras
meletakkan kotak itu di atas meja, lalu menatapnya. Menimbang apakah akan
membuka isinya atau tidak. Tapi itu milik papanya, dan untuk apa papanya
memesan barang atau dikirimi barang oleh Weeding Organizer? pikirnya. Akhirnya
Ia memutuskan untuk tak peduli, siapa tau itu hanya barang titipan milik
tetangganya atau teman papanya atau siapalah itu.
___
Pulang
dari sekolah Iras melihat sebuah mobil terparkir di teras rumahnya. Itu jelas
bukan milik papanya. Ia masuk ke rumah sambil menerka-nerka, apakah papanya
memiliki tamu atau bagaimana.
Namun
saat masuk kedalam rumah Iras tak menemukan siapapun.
“Pah??”
panggilnya, namun tak ada yang menyahut.
Iras lalu mencari ke halaman samping rumah tempat biasa papanya membaca koran sambil
minum kopi, namun tetap nihil. Saat hendak berbalik, Iras menemukan sesuatu
yang ganjal. Halaman samping rumahnya terhubung dengan pintu garasi, dan hal
yang biasa Ia temukan disana adalah motor besar papanya, namun kali ini benda
itu tak ada di tempatnya. Iras masuk ke garasi untuk memastikan, dan benar, itu
tak ada. Papanya pergi menggunakan motor? Yang benar saja!
Ini
aneh, sejak kemarin Iras merasa ada yang ganjal , papanya yang tiba-tiba membuatkan
nasi goreng, paket dari WO, lalu sekarang motor besar papanya tak ada. Ada
jejak papanya sempat pulang kerumah siang ini, namun bukan mobil papanya yang
terparkir namun mobil entah milik siapa.
Ingin
bersikap masa bodoh dan berniat untuk pergi ke kamarnya, lagi-lagi Iras
mendapati hal yang tak biasa. Ruang kerja papanya terbuka. Jantungya mulai
berdetak kencang. Otaknya mulai berpikir macam-macam dan logika nya menerka,
apa ada perampokan di rumahnya?. Sementara itu naluri pertahanan dirinya mulai
keluar, matanya mencari sesuatu yang bisa di gunakan untuk senjata. Beruntung
Ia menemukan sapu di sudut ruang tamunya.
Buku
tangan Iras memutih karena menggenggam erat batang sapu itu sambil berjingkat
menuju ruang kerja papanya. Saat masuk, ternyata ruangan itu kosong, dan
barang-barangnya masih tertata dengan rapih. Iras yakin betul tak ada yang
hilang dari sana. Setelah memeriksa semuanya aman, Iras lega. Ia hendak pergi
ke kamarnya namun matanya manangkap sebuah objek yang tak asing tergeletak di
bawah meja.
“paket
kemaren?” gumamnya lalu memungut kotak yang nampak sudah terbuka itu.
Untuk
kesekian kalinya, Iras mengalami Euphoria dalam hidupnya. Melihat benda yang
ada dalam kotak itu hatinya hancur. Matanya memanas dan bulir air mata mulai
berjatuhan membasahi pipinya.
“SAMPLE
UNDANGAN PERNIKAHAN”
Iras
tak kuat membacanya, namun disana jelas tercetak nama papanya dan nama wanita
yang tak Ia kenal.
Hal
yang lebih mengejutkan lagi adalah nama pengirimnya merupakan pemilik WO
tersebut. Iras jelas tau siapa pemilik nama itu, RISA ANDEMIA, orang yang
pernah Ia panggil kakak.
Iras
membawa beberapa sample undangan itu ke ruang tamu. Lalu Ia duduk menunggu
siapapun datang, entah itu papanya, atau secara ajaib kakanya, dan meminta
penjelasan akan hal konyol tersebut.
Tak
lama gerbang rumahnya terbuka, menandakan ada seseorang yang datang. Iras
sengaja tak menoleh dan diam ditempatnya. Saat pintu rumahnya terbuka, sebuah
suara memanggilnya.
“Iras?”
Tanpa
menoleh Iras tau betul pemilik suara baiton itu terkejut dengan kehadirannya.
“Papa
kira Iras ngga pulang? papa pikir Iras kerjanya cuman bikin masalah dan
kelayaban sampe malem?” tanyanya sarkastik menatap sosok paruh baya di depannya
yang tengah kebingungan meihat benda yang ada diats meja.
Baru
ingin menyahut lagi, Iras mendengar langkah kaki berjalan masuk. Sepatu hak
tinggi? Jika Ia tak salah dengar. Karena penasaran dengan siapa sosok itu, Iras
kali ini menoleh. Dan betapa terkejutnya Ia melihat siapa yang datang.
Hah, ternyata
keajaiban itu ada ya?
“hai
ka Risa Andemia? Long time no see?” sapa Iras dengan senyum yang terlalu
kentara di buat-buat. “masih kenal aku kan? Irasti Saniam, ade kaka!” lanjutnya
dengan nada dibuat seriang mungkin.
Papanya
masih bungkam, lalu saat Iras menoleh meminta jawaban, papanya memaligkan
wajahnya.
“Pah?”
Prabudi
mendudukkan dirinya di sofa berusaha untuk menghadapi putri bungsunya.
“Iras,
Risa coba duduk kita bicara bareng-bareng”
“good,
Iras emang nunggu apa ngomong sejak delapan tahun lalu!” jawabnya dengan penuh
penekanan di akhir kalimat ke arah papanya.
“Iras!
Watch your mouth![1]” hardik Risa
merespon ucapan Iras.
Sedangkan
Iras tak menanggapi lagi dan hanya mendelik ke ara Risa.
“papa
minta maaf Ras..!”
“buat?”
tanya Iras lebih menuntut.
“semua
nya Ras.. semua..” ujar Prabudi langsung menatap manik mata putrinya.
Ini
kelamahan Iras. Air matanya mulai terbendung, tapi egonya melarangnya untuk
menangis.
“Iras
ngga penah minta papa buat bilang maaf, Iras cuman butuh papa jelasin semuanya
pa!” Iras mulai emosional. “alesan kalian cerai? alesan papa ngijinin ka Risa
tinggal diluar rumah setelah keluar dari ruma sakit? Alesan papa mulai sibuk,
jarang pulang. Yang papa pikirin cuman yang penting uang rekenenig di transfer
iya kan?? papa ngga pernah peduli Iras, perasaan Iras? Pendapat Iras?” tangis
nya pecah, Iras meledak.
Tapi
itu tak cukup membuat papanya buka suara.
Iras merasa semua teka-teki ini punya titik terang. Yang Ia tau, Ia memang bukan anak mereka. Namun kemiripan Iras dan papanya tak bisa ditutupi semakin Iras tumbuh. Lalu pertanyaan-pertanyaan itu mendadak muncul bagai puzzle yang tak pernah terpecahkan. Dan hari ini Iras tak bisa diam saja.
“satu
aja pah. Jawab yang ini” pinta Iras memohon, Ia menjeda kalimatnya sejenak.
“Iras anak papa atau bukan?” air matanya mengalir deras. “pah, Iras anak papa
atau bukan??!!??”
“kamu
anak papa Iras!! Kamu anak Papa demi tuhan!!” hanya sumpah itu yang bisa dijawab pria paruh baya itu pada putrinya.
Mata keduanya masih saling beradu pandang. Iras bisa membaca dari maink coklat papanya bahwa masih ada yang belum disampaikan.
Detik berikutnya Ia menyadari sesuatu. Dia memang putri Prabudi, namun jelas sekali Ia bukan berasal dari rahim wanita yang selama ini Ia panggil mama.
Kenapa Ia
sangat takut untuk berprasangka pada papanya? Kenapa ia sangat takut berdosa
sementara hidupnya hanya dibalut dengan teka-teki? Kenapa Ia sangat egois,
ingin menemukan kebahagiaan sementara dirinya bukan sumber kebahagiaan untuk
orang lain?
Nama
yang tercetak di undangan itu, beruntung Iras tak mengingatnya.
Ia
melirik sekilas Risa yang kini juga banjir air mata.
“maaf..
maaf kaa” Iras merangkai kata itu tanpa suara.
Matanya
beralih pada papanya yang kini menatapnya sendu sebelum beranjak pergi menuju
kamarnya.
“makasih
pa..penjelasannya..” ucapnya lirih lalu pergi, menghilang di balik pintu
kamarnya.
Iras
kini tau, sisa hidupnya hanya akan dihabiskan untuk meminta ampun pada mendiang
mamanya dan kakaknya Risa.
-the end-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar